Rabu, 19 Mei 2010

Hujan Februari


Ya, Tuhan mengapa ini harus terjadi pada Anggun? Mengapa dia yang kau pilih Tuhan? Dia teman baikku. Dia begitu penyayang dan aku begitu menyayanginya. Bukan hanya sebagai sahabat, tetapi sebagai perempuan yang aku inginkan untuk hidup denganku. Dia masih ingin mengejar mimpinya di fakultas hukum. Umurnya baru 17 tahun, jangan ambil dia Tuhan, aku mohon.

“Dia sakit. Leukimia,” Dimas, kakaknya memberitahuku lewat telepon setengah jam yang lalu setelah berkali-kali aku menghubungi nomor ponsel Anggun, tetapi tidak diangkat.
Hatiku seperti dihujam samurai. Nafasku terasa berat dan kerongkonganku tercekat. Aku tak mampu berkata sepatah kata pun.
“Ilyas…Ilyas…kau masih di situ,” samar kudengar suara Dimas. Setelah itu aku menjatuhkan telepon rumahku dan aku terus terisak.
Berita itu begitu mengejutkanku. Bahkan sangat mengejutkanku. Kakiku terasa sulit kugerakkan. Dengan terseok aku berjalan ke kamarku. Duduk di atas kasur sambil memandangi foto kami dengan linangan air mata. Matanya bulat dengan alis mata yang terukir sempurna. Hidungnya tak begitu bangir, namun begitu indah. Bibirnya munggil. Jika dia tersenyum akan terkembang lekuk kecil di kedua pipinya. Rambutnya sebahu agak bergelombang. Setiap ke sekolah dia selalu mengikatnya dengan pita biru.
Kenyataan ini, benar-benar menjelaskan semuanya. Mengapa akhir-akhir ini Anggun bersikap agak aneh. Minggu kemarin, dia mengajakku ke rumahnya. Sejam kami hanya duduk di teras tanpa melakukan apapun. Dia memintaku untuk berdoa supaya hari itu hujan turun. Aku menurutinya. Namun, hujan tidak turun hari itu. Senin, pagi hujan turun dengan lebat. Anggun datang ke rumahku, dia basah kuyub. Dia memintaku untuk melakukan hal yang kami biasa lakukan ketika kami tujuh tahun.
“Ini, yang ingin aku lakukan bersamamu!” ujarnya sambil berlari ke tengah jalan lalu membentangkan kedua tangannya dan dia berputar-putar.
Dot…dot…dot…suara klakson truk memekik berulang-ulang. Anggun tidak mendengarnya. Dia asyik bermain dengan rinai hujan. Dia juga tidak mendengar suaraku dan juga tak memahami isyaratku supaya dia minggir. Aku berlari sekuat tenagaku, dan…
“Jadi, kau ingin mati?” ujarku padanya setelah aku menangkap tubuhnya sebelum truk itu menubruk Anngun. “Ini yang kamu inginkan? Meyerahkan nyawamu di jalanan?” imbuhku dengan dada naik turun karena masih kaget dengan kejadian tadi.
“Aku hanya ingin mengulang kejadian yang paling menyenangkan dalam hidupku,” jawabnya lirih.
“Kekanak-kanakan!” balasku dengan nada agak tinggi.
Aku begitu takut kehilangannya. Aku tak mampu mengekspresikan perasaanku, yang keluar dari mulutku malah kalimat yang membuatnya menangis. Aku melihatnya, dia mengusap sisa-sisa air mata ketika kami berjalan bersama menuju rumah. Sejak itu, dia tidak mau berbicara denganku. Dia menghindar dariku dan kami saling diam. Aku gengsi untuk meminta maaf duluan, karena kupikir dia yang salah. Dia yang sudah membuatku spot jantung. Dia yang membuatku panik setengah mati. Jadi, aku membiarkan kami saling diam.
Dia tidak akan mati. Dia akan baik-baik saja. Kami akan terus bersama. Kami akan menjadi pengacara hebat. Aku meyakinkan hati dan pikiranku. Aku mengusap wajahnya dalam foto yang aku bingkai. Foto itu aku ambil ketika study tour ke Bali. Aku mendekapnya erat sambil tersedu. Tawanya ketika tujuh tahun kami bermain hujan terus menggema di telingaku.
“Angun…Angun…,” suara Dimas terhenti. “Anggun…meninggal dunia,” ujarnya lagi dan kudengar tangisnya pecah.
“Inna illahi wa inna ilaihi rajiun….” Aku terdiam. Tangan ku dingin. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tetap mendengarkan suara Dimas, tapi tidak dapat mengerti sesuatu pun. Pikiranku dipenuhi begitu banyak pertanyaan.
Aku masih tidak dapat percaya. Menerima kenyataan bahwa dia telah pergi. Bahkan kemarin aku masih berpikir untuk membelikannya hadiah untuk hari ulang tahunnya, minggu depan. Aku berencana memberinya kejutan, meminta maaf dan berkata aku sangat mencintainya.
Aku datang kepakamannya dengan mata sembab. Anggun, meninggalkanku. Dia telah tiada. Aku sangat kehilangannya. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan. Ini kehendak Tuhan. Aku hanya mencoba kuat untuk menerimanya. Selamat tinggal Anggun, teman masa kecilku, sahabat masa remajaku, dan cinta pertamaku. Cinta itu kini masih kusimpan rapi di hatiku. Entah kapan akan pudar. Semoga kamu akan menemukan kebahagiaanmu di sana, di surga.


Kartika Hidayati
Tegal, 23 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar