Weker di atas meja berdering saat menunjukkan pukul 04.15 dini hari. Mata ini sebenarnya masih sangat berat. Tapi mau bagaimana lagi. Jika bukan sayup-sayup suara mu’azin di masjid seberang rumah itu, weker bulat itu takkan mampu mengusik mimpiku. Aku berjalan gontai kebelakang, mengambil air wudhu. Ku nikmati sejuknya. Bukan sejuk, tapi dingin yang membekukan. Ini hanya sugesti agar aku dapat mensyukuri segala yang di berikan-Nya. Termasuk air dingin ini, ku anggap sejuk agar tak terlarut dalam kebekuan. Air wudhu yang sejuk itu mampu menghapuskan kantuk ku dan sedikit membuat raga ini lebih segar. Sejenak ku lihat Fa’iz, buah hati ku yang berumur satu setengah tahun. Entah dia sedang mimpi apa, yang pasti aku tersenyum melihat wajahnya begitu pulas. Entah apa, rasanya aku begitu bahagia. Paling tidak sesaat sebelum bayang-bayang ayahnya muncul. Ah, anak ku yang malang. Masa-masa pertama mu di dunia, ayah mu malah sibuk mengurus perusahaannya hingga jarang pulang. Tapi tenang sayang. Jerih payah ayah mu kali ini juga untuk kebaikan mu. Bunda yakin mungkin ayahmu sedang tertidur di depan komputernya di kantor. Bermimpikan dirimu dua puluh tahun lagi mengenakan toga, berdiri di atas panggung wisuda sebuah universitas. Terserah kau mau jadi sarjana apa, yang pasti, kau lah yang terbaik.
Fhuh. Desah nafas ku berlalu dalam doa, “Ya Rabb, aku yakin Kau akan selalu menjaganya. Dia punya seorang anak yang masih membutuhkan kehadiran sang ayah, seorang anak yang berumur satu setengah tahun yang kelak akan menjadi mujahid dakwah agama-Mu. Lindungi dia wahai Tuhan yang Maha Penyayang”. Tangan ku meraih mukena dan sajadah yang diberikan Lukman ketika ijab Kabul dulu. Sholat dengan benda-benda ini membuat ku merasa baru kemarin sore aku menikah dengannya. Takkan ku kenakan mukena dan sajadah yang lain sebelum yang ini rusak. Bahkan sudah robek-robek pun, aku akan tetap memakainya walau sekedar untuk menemani khayal dalam kenangan. Sholat subuh pun ku dirikan.
-o@@@o-
Sujud terakhir di rakaat kedua baru saja ku rebahkan. Tak lama, pintu di luar rumah digedor begitu nyaring membuat kekhusu’an subuh kali ini amat terusik. Usai salam kedua, hanya do’a sekedarnya, aku langsung berdiri. Ku biarkan mukena kenangan ini tetap melekat di tubuhku. Telingaku tak tahan mendengar pintu rumahku di gedor-gedor seperti rumah orang miskin yang didatangi algojo rentenir. Ku buka pintu dengan perasaan kesal, pagi-pagi begini, bahkan ayam jago pun masih berkokok setengah hati, rumah ku sudah terusik seperti ada kampung yang terbakar. Ketika pintu terbuka, ku lihat sosok wanita berpakaian minim, warna hijau muda. Lalu rok mini berbahan jeans. Rambutnya Nampak jelas berwarna coklat. Bibir merah berbaur dengan wajah yang putih bersih terawat. Di lengan kirinya terangkul seorang laki-laki berkemeja putih. Jas hitam di cangklong di pundak. Tangan kanannya memegang botol minuman. Aku kenal laki-laki itu, tapi hati ku menolaknya, dan pikiran ku berusaha mengatakan “aku salah”. Lama aku terdiam lantaran aku tak tahu harus berkata apa, bibirpun enggan untuk terbuka. Namun akhirnya perempuan di depan ku angkat bicara.
“Maaf Mba mengganggu subuh-subuh begini, apa benar ini rumahnya Tuan Lukman?”
“Ya.” Jawab ku singkat.
“Saya mengantar Tuan Lukman Pulang, dia tak sadarkan diri di bar semalam setelah menelan beberapa obat dan beberapa botol minuman.” Perempuan itu menyerahkan tubuh Lukman yang tak berdaya pada ku. Lalu berpaling “Permisi Mba” mobil hitam mengkilat sejenis mobil sedan itu menderu memecah keheningan. Aku hanya bisa diam menatap laki-laki di pelukan ku. “Benarkah ini Lukman?” sialnya jawabannya selalu “Ya, ini Lukman”. Aku harus apa? Aku benci kalau Cuma bisa menangis. Tapi memang Cuma itu yang bisa ku lakukan saat ini. Hati ku kacau, suami ku sama sekali bukan Lukman ku. Lukaman ku bukan orang seperti ini, dia orang baik, pekerja keras, rajin sholat, sayang pada keluarganya. Bukan laki-laki yang berfoya-foya di bar dan pulang bersama perempuan tak jelas dalam keadaan mabuk. Tapi kenyataan di pelukan ku saat ini adalah itu. Dia itu suami ku yang ku cintai, bahkan aku masih memakai maharnya waktu ijab kabul dulu. Aku masih tak percaya dan hanya bisa menangis, menangis, dan terus menangis.
Dalam pelukanku Lukman terbatuk. Perlahan matanya terbuka dalam pandangan kabur. Lalu sesaat menyipit, kemudian melotot dan akhirnya mulutnya ikut terbuka “Annisa?” lalu ia terbatuk lagi. Setelah menyebutkan nama ku, batuknya terdengar lebih berat. Sesekali keluar buih putih dari mulutnya. Kemudian buih putih itu bertambah. Tubuh Lukman bergetar seperti orang sakit ayan. Bingung, panik, sedih, semua menyatu dalam dada ini dan lagi-lagi hanya keluar lewat air mata. Apa lagi yang terjadi pada Lukman? Kenapa dia seperti itu? Dan jawabannya adalah “Aku tak tahu”. Aku hanya bisa menangis dan memeluknya semakin erat. Batuknya makin berat, buih putih makin banyak, gemetar badannya makin hebat. Kemudian, “tak!” batuk menghilang, buih berhenti keluar, tubuhnya pun tak lagi bergetar. Aku pikir lelaki yang ku cintai ini sudah sembuh dari penyakit yang aku tak tau penyakit apa namanya tadi. Sebelum aku sadar, bukan Cuma kejadian aneh itu yang berhenti, waktu pun terasa ikut berhenti. Ayam berhenti berkokok, jakrik menutup orkesnya, deru motor dan mobil di jalan juga tak terdengar. Bahkan angin berhenti menghembus, daun-daun tak lagi bergoyang. Semua serasa hilang, sunyi, senyap, sepi dan aneh. Lalu aku sadar suara nafas dalam pelukan ku pun ikut hilang. Dada Lukman tak lagi naik turun. Ku pegang pergelangannya, nadi tak berdenyut. Ku raba dada kirinya, jantung tak berdetak. Ku tepuk-tepuk pipinya dan ku panggil namanya, dia tak menyahut. Apa Lukman telah mati? Kali ini aku terlalu takut untuk menjawab. Tapi kesunyian alam ini seakan berteriak padaku “YA…. DIA SUDAH MATI!!!!”. Air mata ini deras. Semakin erat ku peluk tubuhnya. Ku ciumi pipinya. Kupanggil-panggil namanya. Aku tak tahan lagi. Ku dekap ia lalu berteriak “LUKMAAAAN!!!”. Aku menunduk terisak. Ku dengar suatu berdering. Tapi tak ku hiraukan. Sesaat hilang, berdering lagi, lalu hilang, lalu berdering lagi. Aku tetap memeluk Lukman dalam tangis dan jeritan.
-o@@@o-
Suara berdering semakin nyata. Semakin jelas ku dengar. Lalu ku buka mataku, bukan wajahnya Lukman tapi hanya langit-langit kamar. Astaghfirullah, ya Tuhan buruk sekali mimpi ku kali ini. Tapi syukurlah, itu semua hanya mimpi. Ya, mana mungkin Lukman ku berprilaku seperti itu hingga mati su’ul khatimah dalam keadaan over dosis. Fa’iz di samping ku masih pulas, wajahnya masih sama seperti yang aku lihat di mimpi ku barusan, tenang tanpa beban. Lalu ayahnya? Aku baru ingat, Lukman sedang ada tugas keluar kota. Semalam ia menghubungi lewat ponsel. Dia menanyakan kabar Fa’iz. Beberapa hari yang lalu aku mengirim pesan padanya, Fa’iz sudah semakin mahir merangkak, gerakannya lincah sekali. Lukman sepertinya senang dengan perkembangan anak pertamanya itu. Dia bilang hari ini tiba dibandara dan langsung menuju kerumah. Sudah kangen katanya. Dia juga sudah menyiapkan oleh-oleh untuk Fa’iz.
-o@@@o-
Tak biasanyanya Fa’iz rewel seperti ini. Semenjak aku selesai sholat subuh tadi. Entah mengapa, dia tidak mengompol, tak juga lapar, karena dia juga tak mau minum ASI, tak juga mau susu kaleng, bubur pun tak mau ditelannya. Aku bahkan tak sempat mandi demi menimang dirinya. Beberapa tetanga berdatangan menanyakan apa yang terjadi. Beberapa dari mereka berkata, “Kemungkian ada sesuatu yang terjadi dengan ayahnya, bisa jadi itu karena ikatan batin.” Ikatan batin? Aku kira itu hanya terjadi pada ibu dan anak. Tapi apakah benar ada sesuatu yang terjadi pada Lukman? Aku mulai terbayang-bayang mimpiku semalam, tapi tak mungkin lukman mati karena over dosis obat. “Lukman bukan orang yang seperti itu!” batinku menolak. Fa’iz masih menangis, aku bingung harus bagaimana, tetangga yang datang juga tak memperbaiki keadaan, hanya memenuhi rumah ku saja. Ya rumah ku sangat penuh seperti sedang ada hajat. “Ya Rabb, aku yakin Kau akan selalu menjaganya. Dia punya seorang anak yang masih membutuhkan kehadiran sang ayah, seorang anak yang berumur satu setengah tahun yang kelak akan menjadi mujahid dakwah agama-Mu. Lindungi dia wahai Tuhan yang Maha Penyayang”, batin ku memanjatkan doa yang sepertinya sudah tak asing di benakku. Tapi kapan doa itu ku ucapkan, aku lupa. Seorang tetangga meminta izin untuk menyalakan televisi. Aku izinkan saja. Lalu dari ruang tengah terdengar sayup-sayup suara televisi. Sepertinya suara berita pagi, berita pesawat jatuh. Lagi-lagi pesawat jatuh. “….Pesawat Boing 31R jurusan Bandung-Semarang tergelincir saat landing di Bandara Ahmad Yani Semarang. Kecelakaan ini di perkirakan karena cuaca yang buruk. Hujan lebat dan awan yang tebal membuat jarak pandang pilot terhalang sehingga tidak dapat landing di posisi yang tepat ditambah kondisi landasan yang licin membuat pesawat tergelincir dan terbalik. Kondisi yang buruk ini semakin buruk ketika tanki bahan bakar pesawat bocor. Gesekan pesawat dengan aspal landasan menimbulkan percikan api. Hal ini menyebabkan lebih dari separuh badan pesawat terbakar. Saat ini pemadam kebakaran sedang berusaha memadamkan api dan tim SAR Semarang sedang mengefakuasi korban. Hinga saat ini, di ketahui 8 orang selamat dengan luka berat dan 11 orang meninggal termasuk pilot dan copilot. Diperkirakan korban meninggal akan terus bertambah melihat kondisi pesawat yang seperti ini….” Cuplikan berita tadi membuat ku merinding, terlebih lagi saat ku ingat bahwa Lukman hari ini pulang dari Bandung. Dan harusnya saat ini dia sudah sampai di bandara Ahmad Yani. Ku coba menghubunginya. Nomornya masih tak aktif. Aku mencoba menenangkan diri. Pesawat Lukman masih di udara karena landasan Bandara Ahmad Yani belum bisa digunakan. “….Regi Setiawan, dan yang terakhir Danu Nugraha. Kemudian daftar nama korban tewas sementara ini adalah sebagai berikut. Krisna Mulya, Didit Purnama, Ahmad Lukman….” Lukman? Lukman ada dalam pesawat itu dan tewas? Ah tak mungkin, itu pasti Lukman yang lain. Lukman suamiku pasti masih di dalam pesawat yang berputar-putar di atas bandara dan bertanya mengapa pesawat ini tak juga turun? Ya, dia bertanya seperti itu karena sudah sangat rindu pada ku, atau mungkin pada Fa’iz.
“Kriiiiiiiiiiiiing…!!!” Telpon rumah berdering, tangis Fa’iz makin meledak. Ku titipkan Fa’iz pada Bu RT dan segera ku angkat ganggang telpon.
“Halo?” suara ku membuka percakapan telpon.
“Selamat pagi. Benar ini kediaman tuan Ahmad Lukman?”
“Ya, saya istrinya. Ada apa ya? Dan ini siapa?”
“Maaf nyonya Lukman, kami dari petugas Bandara Ahmad Yani Semarang mengabarkan bahwa, suami ibu ditemukan tewas dalam kecelakaan pesawat tadi pagi. Ka….”
Suara di telpon tak lagi bisa ku dengar. Tangan ku pun tak lagi mampu menggenggam ganggang telpon itu dan ku biarkan terjatuh lalu menggantung di bawah meja. Air mata ini pecah. Ibu-ibu yang dari tadi ngerumpi tak jelas memenuhi rumah ku seketika terdiam menatapku dan bertanya “ada apa?”. Suasana hening, suara televisi tak lagi ku dengar, mungkin di matikan. Sejenak ku lihat Fa’iz, dia sudah tak menangis lagi. Dia lelap di gendongan Bu RT. Nafas ku terasa sesak, dada ku naik turun, kepalaku pusing. Terdengar suara dering lagi. Tapi tak ku pedulikan. Jangankan mengurus dering itu, membuka mata saja rasanya aku tak mampu. Dering itu menghilang sesaat, lalu bunyi lagi. Ku coba membuka mata, tapi berat. Lalu kurasa tulang-tulang kakiku meleleh hingga tak mampu menopang. Aku masih merasakan aku jatuh terhempas. Masih ku dengar ibu-ibu yang berteriak histeris. Lalu suara dering itu terdengar lagi. Sesaat mati, lalu berdering lagi.
-o@@@o-
Suara dering itu semakin jelas. Sedikit demi sedikin ku kumpulkan kesadaran ku. Ku buka mata ku. Ah? Apa-apaan ini? Aku mimpi buruk 2 kali. Kali ini aku berada di ruangan serba putih. Ya aku ingat. Semalam aku tahajud, semakin yakin saat aku menyadari masih mengenakan mukena kado Lukman saat ijab kabul dulu. Aku berdiri. Azan asing, tak seperti azan yang sering ku dengar. Oh iya, itu suara azan dari mushola rumah sakit. Ya aku ingat, aku barada di Rumah Sakit Karyadi Semarang. Ya, Lukman harus di opname karena penyakit jantungnya sudah sangat parah. Ku lihat dia, laki-laki terhebat setelah ayah ku, jiwa-jiwa ayah ada pada dirinya. Dia lah suami ku, sekaligus sahabat ku, sekaligus kakak ku, nsekaligus ayah ku. Yang membuat aku bangga dipanggil Bu Lukman oleh teman-teman kantornya. Oh, inilah anugerah Tuhan yang terbesar dalam hidupku. Ku ciumi tangannya, yang pucat, namun masih kurasakan kehangatan jemarinya. Sesaat kemudian baying-bayang mimpi itu datang. Sewaktu kecil, ibu ku pernah bilang, mimpi buruk itu datang dari setan. Ya, kedua mimpi sialan tadi pasti datang dari setan yang akan menyesatkan ku di saat seperti ini. Sori aja ya, aku tak terpengaruh. Lukman pasti sembuh. Ah, aku terlalu lama berdiam di samping tempat tidur putih ini. Bisa-bisa subuh kun nanti terlewat. Aku segera beranjak, namun Lukman menggenggam tangan ku. Ternyata dia sudah bangun. Aku tersenyum, dia membalas, oh sejuknya senyum yang dulu pernah membuat ku terpikat, hinga kini lengkung itu belum berubah.
“Annisa sayang, antarkan aku berwudhu. Aku ingin sholat subuh bersama mu.” Hah? Dia memanggilku saying, terdengar kaku, karna dia jarang menucapkan itu, tapi nitu sudah cukup membuat ku malu, pipi ku pasti merah.
“Tapi Mas? Apa Mas kuat? Mas kan belum sembuh.”
“Mas kuat Nisa, nih lihat.” Lukman berdiri, aku refleks memegang lengannya. Aku tak ingin Lukman jatuh dan tambah sakit. Ku ambil infus yang tergantung di tiang, ku antar Lukman kekamar mandi untuk berwudhu.
“Hati-hati Mas, pelan-pelan aja.”
Lukman tersenyum. Oh, semakin sering ku nikmati senyum itu, semakin tak siap aku untuk kehilangan. Lukman wudhu sendiri seperti orang yang sehat. Setelah wudhu, ku antarkan Lukman ketempat tidur.
“Mas tunggu di sini dulu ya, Nisa mau wudhu sebentar. Nanti biar nisa yang gantiin baju Mas. Tunggu ya Mas, jangan ngelakuin hal yang bukan-bukan.” Pesan ku sedikit khawatir. Lukman tersenyum lagi, aku balas senyum yang takkan pernah ku lupakan itu.
-o@@@o-
Aku kaget, selesai wudhu, kulihat Lukman sudah rapi dengan baju koko putih dan sarung hitam. Infuse di lengannya tak lagi terpasang. Ada rasa khawatir, marah, sebal pada Lukman.
“Yuk sholat.” Lukman menyerahkan mukena yang tadi ku pakai tahajud. Senyumnya membuatku tersihir dan melupakan kemarahan ku. Aku ikuti apa yang di katakannya. Sholat pun kami panjatkan bersama. Ada yang berbeda dengan sholat kali ini walau pun ini bukan pertama kalinya kami sholat berjama’ah. Ini hampir setiap hari kami lakukan di rumah. Tapi kali ini terasa lebih sakral, lebih indah, lebih tentram. Suara Lukman pun saat melantunkan ayat suci Al-Qur’an lebih sejuk terdengar. Hinga tak terasa, salam pun berakhir. Aku ingin protes, kenapa sholat yang indah ini hanya dua rakaat. Aku tak ingin sholat tadi selesai dengan cepat.
Ku tuntun Lukman untuk kembali ke tempat tidur. Lalu ku gendong Fa’iz yang sudah terbangun. Biasanya setiap bangun tidur, Fa’iz selalu menangis, tapi kali ini tidak. Di tengkurap sambil bermain dengan bonekanya.bahkan dalam gendongan ku pun bonekanya masih belum ia lepas. Ku lihat Lukman sudah tertidur lagi. Ku lewati waktu subuh ini dengan melantunkan surat-surat cinta-Nya. Ku biarkan Fa’iz bermain di pangkuan ku sambil mendengarkan ayat-ayat suci dari mulut ku.
Matahari sudah mulai menampakkan sinarnya mengeringkan embun yang menyejukkan pagi. Hangatnya menyusup masuk lewat korden jendela yang tersibak mambangunkan ku. Oh, ternyata aku tertidur saat membaca Al-Qur’an. Fa’iz masih bermain dengan bonekanya di pangkuan ku. Anteng sekali anak itu. Sedangkan infus sudah terpasang di lengan kiri Lukman. Aku mengeryitkan dahi. Ah, mungkin sewaktu aku tidur, ada suster atau dokter yang masuk lalu memasang kembali infuse itu. Tapi ada satu alat yang sebelumnya tak ada di kamar ini. Sebuah kotak monitor yang menampilkan garis naik turun seiring detak jantung Lukman. Bagaimana bisa mereka memasang alat itu tanpa seizing ku.
“Ibu yang mengizinkan mereka memasang alat itu.” Suara lembut seorang ibu mengagetkan ku.
“Nih, ibu bawakan bubur ayam buat kamu, pasti kamu belum sarapankan?” oh, ternyata Bu Nur, ibunya Lukman.
“Jam berapa datang Bu?” sambil kucium tangannya.
“Mungkin beberapa menit setelah kamu tertidur.”
“Ibu sendirian? Bapak mana?”
“Bapak masih di parkiran mobil, tadi bertemu teman SMA-nya, mungkin sekarang sudah dalam perjalanan kesini. Nah itu dia” ku lihat kepala Pak Ali, ayahnya Lukman menyembul dari balik pintu.
“Assalamu’alaikum.” Suaranya berat dan sepertinya tidak sendiri, suaranya yang sudah tak asing lagi bagi ku.
“Wa’alaikumsalam. Lho, kalian kok bisa bareng?” Bu Nur menjawab. Ternyata benar dugaan ku. Ibu dan ayah ku juga datang.
“Kami bertemu di parkiran. Kok bisa kebetulan seperti ini ya? Hehehe.” Suara tawa ayah yang khas yang tak pernah ku lupakan.
“Ayo sarapan, kebetulan saya bawa bubur ayam banyak, cukup untuik kita semua.”
“Ibu ini sudah mulai tadi malam lho kepingin buat bubur ayam. Untung saya menghalang. Kalau tidak, mungkin dia lembur tadi malam hanya untuk sebuah bubur ayam.”
“Sayang Lukman masih tidur ya Pak.”
“Tadi subuh sebenarnya Lukman bangun Bu. Malah kami sholat subuh bersama. Habis itu, Mas Lukman tertidur lagi.”
Obrolan pagi ini berlangsung panjang hingga acara sarapan bubur selesai, obrolan masih belum usai. Paling tidak sebelum suara “tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiittt” panjang dari kotak monitor itu memekakkan telinga. Semua tau apa artinya itu. Semua panik. Ayah lalu keluar kamar memanggil dokter. Kami semua mengerumuni tempat tidur Lukman. Sesaat dokterpun datang bersaman beberapa pegawainya membawa berbagai alat. Kami semua disuruh mundur. Fa’iz masih tenang dalam gendongan mbahnya. Namun suasana tetap mencekam. Tak lama, dokter berbicara dengan Pak ALi. Setelah menemui kesepakatan. Lukman langsung di bawa keruang UGD. Kami semua berlari mengikutinya. Namun tak boleh masuk. Kami berlima menunggu dalam diam di luar. Obrolan panjang saat sarapan tadi hilang tak tahu kemana. Hanya Fa’iz yang masih asik bermain dengan bonekanya. Ku gendong dia, ku peluk dia dalam sayang. Berdoalah nak, semoga mimpi ibu semalam tak menjadi kenyataan. Ibu tak siap untuk bermimpi seperti itu lagi.
Berjam-jam berlalu dalam sunyi dan tegang. Aku sudah dari tadi menangis. Bu Nur sudah berulang kali tak sadarkan diri. Lalu dokter keluar memanggil Pak Ali. Suasana mencekam dalam penantian, ibu memelukku dalam hangat. Pak Ali keluar memanggil Bu Nur. Mereka berdua berpelukan. Ayah menghampiri, memegang pundak Pak Ali, Pak Ali menatap ayah lalu menggeleng. Bu Nur rebah tak sadarkan diri lagi. Aku tahu apa artinya. Aku tahu apa artinya. Aku bermimpi lagi.
-o@@@o-
Bendera putih berkibar di depan rumah ku. Para tetangga berdatangan, terutama ibu-ibu yang dalam mimpi tadi memenuhi rumah ku. Aku ingat baju-baju yang mereka kenakan. Sama persis seperti yang ada di dalam mimpi ku. Saat ini pun aku yakin aku sedang bermimpi. Aku hanya tinggal menunggu suara dering. Dan terbangun dalam mimnpi yang entah apa lagi ceritanya. Aku sudah berhenti menangis saat aku semakin yakin bahwa nini adalah mimpi. Walau pun ini sangat nyata. Mimpi-mimpi sebelumnya juga tampak nyata. Aku hanya menatap Lukamn yang sudah terbungkus kain putih. Ba’da zuhur nanti ia akan dimakamkan. Beberapa diantara pelayat mengira bahwa aku adalah istri yang tabah dalam menghadapi kematian suaminya. Mereka tak tahu bahwa ini hanya mimpi. Untuk apa membuang air mata demi mimpi seperti ini.
Mobil jenazah sudah siap. Tubuh kaku Lukman dimasukkan ke mobil seusai di sholatkan. Aku mulai ragu. Sampai sejauh ini, mengapa suara dering itu belum terdengar. Tapi aku tetap mencoba melalui mimpi yang tak indah ini. Hingga tiba di makam. Aku berdiri di atas liang lahat berukuran dua kali satu meter. Aku masih menunggu suara dering. Tubuh berbalut kain putih Lukman sudah diturunkan dan ditutup papan. Aku masih menunggu suara dering. Tanah makam pertama di jatuhkan, papan-papan penutup tak lagi terlihat. Aku tak bisa menunggu lagi. Mana suara dering itu. Mana bunyi “kriiing” itu. Aku Tanya pada Pak Ali, aku tanya pada Bu Nur, pada ayah, pada ibu, pada bu RT, bahkan pada Fa’iz. Mereka hanya menatapku bingung.
“Ya Allah, mana suara dering yang membangunkan ku dari mimpi buruk ini? Aku tak tahan ya Allah.” Ku tengadahkan wajah dan teriak kepada-Nya. Tapi sepi, dering itu tak terdengar. Hanya puluhan pasang mata menatap ku bingung. Mungkin tak sedikit yang menganggap ku gila karena ditinggal mati oleh suami. Bu Nur datang memeluk ku.
“Annisa anak ku, ini bukan mimpi. Lukman mu, Lukman ibu, Lukman kita semualah yang barusan dikubur itu, dialah yang berbalut kain putih itu, dia yang sholat subuh berjama’ah bersama mu. Dia lah Lukman. Suami mu, anak ibu.”
Aku memeluk Bu Nur sambil menumpahkan sisa-sisa air mata. Lalu ibu datang memelukku dari belakang sambil menggendong Fa’iz.
“Annisa anak ku, kau wanita istimewa yang ibu miliki. Kau harus tabah. Allah sudah melatihmu untuk ini.”
Tangis ku pecah sejadi-jadinya dalam pelukan dua ibu dan Fa’iz. Mata ku berkunang-kunang. Kepala ku pusing. Tulang-tulang ku tak mampu untuk menyanga. Lalu suara dering itu terdengar. Sesaat hilang kemudian berdering lagi.
-o@@@o-
Amri Rasuadani
Mahasiswa BSI Unnes
Pemenang Peksimida Jateng untuk Kategori
Cerpen dengan Jy\ydyl Cerpen "Mimpi Buruk Terakhir"
Wakil Jateng untuk Peksimas X di Pontianak
Penulisan nama pengarangnya salah
BalasHapus